ANTARA ATURAN DAN REKOMENDASI DOSIS PEMUPUKAN PADA TANAMAN PADI
Pernah terjadi perdebatan antara aturan dosis / takaran pemupukan pada tanaman padi yang mana mengacu pada 5:3:2 (500kg/ha Petroganik, 300kg/ha Phonska, dan 200kg/ha urea) dengan ilmu pengetahuan petani. Menurut aturan pemerintah dosis pupuk untuk tanaman padi mengacu pada 5:3:2 tetapi penerapan di lapang sering tidak sesuai dengan aturan tersebut, akibatnya penyerapan pupuk tidak sesuai dengan RDKK(rencana definitif kebutuhan kelompok) mengenai pengajuan pupuk bersubsidi sesuai dengan luasan hamparan pada kelompok tersebut. Penyerapan pupuk pada pengecer bisa melebihi jumlah yang sudah tertera pada RDKK atau bahkan malah kurang dari RDKK. Ternyata ketidak sesuaian penyerapan pupuk bersubsidi terhadap RDKK memiliki dampak yang besar bagi pemangku kebijakan, terutama dinas yang mengurusi bagian pupuk dan produsen maupun distributor. Di depan karung pembungkus pupuk pada pupuk bersubsidi tertera tulisan "barang dalam pengawasan" karena memang anggraan negara untuk mensubsidi pupuk tersebut sangatlah besar, jika harga pupuk bersubsidi jenis urea Rp.1.800/kg , untuk non subsidi mencapai Rp.4.375/kg, subsidi pemerintah Rp.2.575/Kg padahal aturan 200kg/Ha. Sehingga uang yang dikeluarkan pemerintah untuk pupuk urea Rp. 515.000/Ha. Nilai yang cukup besar, nilai yang besar tersebutlah yang membuat permasalahan jika tidak terserap dengan sempurna. Khusus untuk penyerapan urea saya menemukan beberapa permasalahan dalam penyerapannya, antara lain disebabkan oleh :
1. Musim tanam
Pada musim tanam pertama / sewaktu hujan turun begitu banyak, penggunaan urea dapat menebabkan gagal panen karena kandungan N yang terlalu besar 46%, sedang air hujan juga memiliki kandungan N yang tinggi. Tanaman padi yang mendapatkan terlalu banyak unsur N akan mudah terserang penyakit seperti patah leher (blas) dan disukai hama. Sehingga kemungkinan gagal panen akan semakin tinggi. Mengantisipasi hal tersebut petani biasa menggunakan Phonska tanpa menambah Urea, atau menggunakan Phoska dan ZA sebagai pengganti urea, karena kandungan N pada pupuk ZA lebih rendah. Hal tersebut membuat penyerapan pupuk urea tidak sesuai dengan RDKK, sebaliknya penyerapan pupuk ZA yang secara aturan pemerintah hanya boleh digunakan pada tanaman holtikultura malah dipergunakan untuk tanaman pangan. Kalau di lihat dari jumlah penyerapan ZA yang bertambah sedangkan luas tanaman holtikutura tidak bertambah maka terjadi penyimpangan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Sebenarnya penggunaan pupuk ZA tersebut tidaklah salah menurut ilmu pengetahuan, karena ZA memang sangat bagus apalagi untuk tanah-tanah sawah yang dalam/berlumpur. Tetapi tidak sesuai dengan RDKK karena didalam RDKK ZA untuk tanaman holtikultura. Maka perlu adanya aturan baru untuk mengatur dosis pupuk dan jenis pupuk pada setiap musim tanam.
2. Tingkat kesuburan tanah
Tanah yang subur menggunakan urea sesuai aturan 200kg/Ha pada musim kemarau sangatlah mungkin, atau bahkan malah kurang dari anturan bisa saja terjadi jika kesuburan tanahnya sangat tinggi sehingga tanaman produksinya tetap naik. Tetapi untuk tanah yang kurang subur dosis pemberian pupuk urea akan semakin meningkat melebihi aturan baku 200kg/ha. Hal ini sangat banyak ditemui dilapang yang menyebabkan penyerapan urea pada tanah-tanah yang kurang subur meningkat.
3. Harga
Selain karena kandungan N pada pupuk ZA yang lebih rendah dibandingakan dengan urea, pada musim penghujan petani banyak yang memilih ZA karena harganya lebih murah. HET pupuk bersubsidi pada tahun 2016 untuk pupuk ZA Rp.1.400/kg sedangkan urea Rp.1.800/Kg, lebih murah Rp.400 membuat petani lebih tertarik menggunakan ZA untuk tanaman padinya pada musim penghujan.
4. Kondisi keuangan petani
Kalau kita melihat dan menghitung analisa usaha petani dengan kepemilikan lahan 1.000m2 untuk tanaman padi jika berproduksi standar sekitar 600kg gabah kering panen dengan harga Rp.3.700/kg= Rp.2.220.000,- pendapatan kotor selama 1 musim(4bulan), belum dikurangi biaya pupuk, jika sesuai aturan Petroganik(50xRp.1.500)+Phoska(30xRp.2.300)+urea(20xRp.1.800)= Rp.180.000 ditambah biaya pengolahan lahan, biaya benih, biaya tanam dan obat-obatan. Petani kira-kira hanya mendapatkan Rp.1.500.000/4bulan sedangkan kebutuhan rumah tangga juga banyak, belum lagi harus menyiapkan unag untuk pengolahan tanah dan pembelian benih musim tanam selanjutnya. Akibatnya ketika sudah saaatnya melakukan pemupukan sering petani tidak memiliki uang untuk membelinya, padahal pupuk tersebut telah disubsidi. Itu merupakan gambaran untuk petani dengan luas lahan 1.000m2 yang mana banyak kita jumpai di lapang. Sangat sedikit petani dengan penguasaan lahan yang luas.
Pada akhirnya pemerintah sebagai pemangku kebijakan perlu juga melihat kondisi di lapang, penerapan aturan harus disesuaikan dengan kondisi petani dan kenyamanan petani dalam melakukan budidaya tanaman padi, jangan sampai penerapan aturan yang kaku malah membuat produksi petani menurun. Aturan pemberian dosis pupuk 5:3:2 mungkin lebih tepat disebut sebagai rekomendasi, tetapi perlu juga di kaji ulang mengenai pembuatan RDKK yang harus sesuai dengan kondisi nyata di lapangan dan musim tanam dengan takaran pupuk yang berbeda karena jenis tanaman yang berbeda pula. Petani sekarang pintar, bisa belajar dari pengalaman tetapi perlu juga diingatkan sudah saatnya untuk melakukan cara bertani sehat dengan mengurangi penggunaan input kimia dan meningkatkan kesuburan tanah dengan penambahan bahan-bahan organik. Semoga nanti lahan pertanian bisa diwariskan kepada anak cucu dengan produksi yang semakin meningkat.
Comments
Post a Comment